Guru Swasta Tidak Bisa Ikut PPPK: Proses Perlahan Mematikan Sekolah Swasta?

suaradompu.com. Di tengah gegap gempita seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) bagi guru, muncul satu ironi besar yang mulai dirasakan oleh ribuan guru di sekolah swasta: mereka tidak bisa ikut tes PPPK. Padahal, guru-guru swasta selama ini telah berpuluh tahun mengabdi, mengajar dengan gaji minim, bahkan tanpa jaminan kesejahteraan yang memadai. Ketika pemerintah membuka kesempatan untuk kesejahteraan melalui PPPK, pintu itu seolah ditutup rapat bagi mereka.

Fenomena lain yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah munculnya sekolah negeri baru di sekitar sekolah swasta. Banyak pihak menilai hal ini sebagai langkah yang justru melemahkan eksistensi sekolah-sekolah swasta. Ketika sekolah negeri berdiri berdekatan, murid-murid yang sebelumnya menempuh pendidikan di sekolah swasta berpindah, karena tergiur fasilitas yang lebih lengkap. Akibatnya, sekolah swasta kehilangan murid, kehilangan sumber dana, dan perlahan mulai sekarat.

Jika dulu sekolah swasta menjadi pelengkap sistem pendidikan nasional, kini ia seolah menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak. Padahal, tanpa sekolah swasta, pemerintah tidak akan sanggup menampung seluruh peserta didik yang ada di Indonesia.

Sekolah swasta pada dasarnya memiliki ciri khas dan otonomi yang lebih besar dibandingkan sekolah negeri, termasuk dalam hal kurikulum. Namun belakangan, kurikulum mereka pun semakin diatur dan diseragamkan dengan kurikulum nasional. Akibatnya, ciri khas dan kekuatan sekolah swasta — seperti kedalaman pendidikan agama, moral, atau karakter — justru semakin terkikis.

Ketika peluang PPPK hanya dibuka untuk guru-guru negeri, banyak guru swasta merasa tidak memiliki masa depan yang jelas. Mereka bekerja keras, mendidik anak bangsa, namun ketika kesempatan sejahtera datang, mereka tidak diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan formal negara.

Kondisi ini memunculkan fenomena baru: guru swasta berbondong-bondong pindah ke sekolah negeri. Mereka berharap, dengan beralih status, peluang untuk mengikuti PPPK akan terbuka. Namun di sisi lain, hal ini meninggalkan lubang besar di sekolah swasta — kekurangan tenaga pendidik berkualitas, yang pada akhirnya mempercepat kemunduran sekolah-sekolah tersebut.

Jika semua kebijakan ini dibiarkan berlanjut, maka lambat laun sekolah swasta akan kehilangan eksistensinya.

Bayangkan, guru swasta tidak bisa ikut PPPK, sekolah negeri berdiri di sekitar sekolah swasta, kurikulum diatur pusat, dan pendidikan agama dikurangi porsinya. Semua ini menjadi rantai kebijakan yang saling terkait dalam melemahkan daya hidup sekolah swasta.

Padahal, sekolah swasta adalah pilar penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Banyak sekolah swasta lahir jauh sebelum sekolah negeri berdiri. Mereka menjadi wadah lahirnya tokoh-tokoh bangsa, ulama, dan cendekiawan yang berkontribusi besar untuk negeri ini.

Namun kini, dengan segala kebijakan yang tidak berpihak, sekolah swasta seolah sedang “dimatikan secara perlahan” — bukan karena gagal, tetapi karena dipinggirkan.

Pendidikan seharusnya tidak dibedakan berdasarkan status negeri atau swasta. Guru tetaplah guru — pengabdi ilmu dan penanam nilai. Mereka semua adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang layak mendapatkan penghargaan dan perlakuan yang sama.

Pemerintah seharusnya membuka ruang selebar-lebarnya bagi guru swasta untuk ikut PPPK, dengan mekanisme verifikasi yang adil. Selain itu, kebijakan pembangunan sekolah negeri sebaiknya tidak mematikan sekolah swasta, melainkan saling melengkapi dalam satu sistem pendidikan nasional yang berkeadilan.

Jika tidak, maka yang akan mati bukan hanya sekolah swasta, tapi juga keberagaman dan jiwa pendidikan bangsa ini. (GM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *